Kamis, 15 Oktober 2015

Gerakan Sosial Perempuan di Timur Tengah

posting by ayilia di 7:19 PM 0 komentar
Gerakan Sosial Perempuan di Timur Tengah
Gerakan perempuan di negara-negara Timur Tengah telah terjadi sejak awal abad ke-20. Gerakan tersebut umumnya tidak serta merta menuntut hak-hak mereka sebagai perempuan. Kesadaran untuk mendapatkan hak-hak yang sama lahir setelah mereka ikut berjuang dengan kaum laki-laki. Gerakan perempuan di negara Timur Tengah seperti Mesir dan Palestina dipicu oleh gerakan nasionalisme menentang bentuk-bentuk imperialism.[1] Dengan itu kaum laki-laki sadar bahwa kaum perempuan juga memiliki kekuatan dan kemampuan yang sama dengan kaum laki-laki.
Situasi dan kondisi di tiap-tiap negara Timur Tengah yang tidak sama menyebabkan bentuk gerakan perempuan berbeda-beda. Namun hanya ada satu isu yang menyebabkan mereka bergerak: diskriminasi. Di beberapa negara Timur Tengah seperti Mesir dan Suriah gerakan perempuan telah dimulai sejak awal abad ke-20. Akan tetapi tidak semua kaum perempuan di negara-negara Arab harus bersusah payah berjuang untuk mendapatkan persamaan hak di beberapa bidang. Negara-negara tersebut misalnya seperti Kuwait, Tunisia, Uni Emirat Arab dan lain-lain. Hal ini disebabkan salah satunya adalah karena kaum laki-laki di negara-negara tersebut cukup akomodatif. Ironisnya mereka hanya mendukung dalam sektor pendidikan saja, namun hak perempuan dalam politik tidak diakui.
Di Saudi Arabia, sekitar awal abad ke-20, perempuan hanya masih menikmati pendidikan tradisional di rumah atau di sekolah-sekolah kuttab untuk mendapatkan pendidikan Al-Quran.[2] Namun sayangnya mereka belum bisa menikmati pendidikan modern. Baru pada tahun 1960-an, perempuan boleh memasuki sekolah modern. Sekolah modern untuk perempuan yang pertama ini, bertujuan untuk mendidik perempuan agar dapat menjadi pengelola rumah tangga yang baik berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Pendidikan bagi kaum perempuan terus dibuka seluas-luasnya setelah minyak ditemukan di negara petrodollar tersebut. Booming ekonomi bahkan membuat banyak perempuan kelas atas bersekolah di luar negeri.
Di sisi lain perempuan masih sangat terbatas untuk bergerak di ruang publik. Salah satu bentuk pembatasan itu adalah pelarangan mengendarai mobil. Pelarangan ini memancing protes dari beberapa kalangan perempuan professional Arab Saudi. Sekitar 47 perempuan berdemonstrasi mengendarai mobil di jalan raya King Abdul Aziz. Peristiwa yang terjadi pada tahun 1990 ini menyebabkan mereka ditangkap.
Gerakan perempuan di Saudi Arabia dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1.      Periode pertama 1932-1950 Perempuan Saudi didefinisikan lebih berperan dalam bidang tradisional dan domestic seperti mengelola rumah tangga dan mengasuh anak
2.      Periode kedua 1960-1970 dibawah kepemimpinan Raja Faisal perempuan Saudi mendapat peran yang lebih dari sekedar peran tradisional bahkan sampai bisa mengenyam pendidikan di luar negeri
3.      Periode setelah 1970an, perempuan Saudi mengalami kemunduran peran akibat pengaruh dari pecahnya revolusi Iran.[3]
Di Mesir, perjuangan perempuan telah lebih dahulu dilakukan sebelum negara-negara Arab lainnya. Gerakan perempuan tumbuh seiring dengan isu nasionalisme. Pada tanggal 16 Maret 1919, untuk pertama kalinya kaum perempuan kelas atas dan menengah turun ke jalan-jalan melakukan perlawanan dengan berdemonstrasi. Ratusan perempuan dengan pakaian khas perempuan kelas atas dan wajah yang tertutup hijab bergerak dengan gagah berani menantang pasukan Inggris. Aksi-aksi besar yang terjadi di tahun 1919 itu kemudian dikenal dengan Revolusi 1919.[4] Selain menuntut pembebasan para aktivis politik yang berjuang untuk kemerdekaan Mesir, mereka juga memprotes pemerintah Inggris karena tindakannya yang penuh kekerasan dalam menghadapi rakyat Mesir. Gerakan yang dilakukan perempuan kelas atas dan menengah Mesir ketika itu bukan hanya mengandalkan kekuatan massa, namun berbagai cara juga dilakukan untuk mencapai tujuan mereka.
Usaha yang dilakukan untuk menuntut kebebasan para tahanan politik dan protes terhadap tindakan pasukan Inggris bukan hanya dilakukan dengan hanya demonstrasi di jalan-jalan. Strategi pertama yang mereka lakukan adalah mengirim sebuah petisi kepada Ketua Komisi Tinggi Inggris ketika itu. Sayangnya petisi tersebut tidak mendapatkan tanggapan dari pihak Inggris. Selain menulis petisi, para perempuan Mesir kelas atas yang dipimpin oleh Huda Sharawi, mengirim surat kepada Lady Burnet, yang tidak lain adalah istri Ketua Komisi Tinggi Inggris, namun surat itu tidak ditanggapi oleh Lady Burnet. Usaha para perempuan Mesir untuk mengirim petisi dan surat tidak membuahkan hasil, akhirnya mereka berkumpul lagi untuk melakukan aksi turun ke jalan. Kemudian perempuan yang jumlahnya ratusan itu berdemonstrasi turun ke jalan. Perjuangan ini memakan korban bernama Shafiqa Muhammad, salah satu dari demonstran. Namun perjuangan merekan yang penuh perjuangan itu tidak sia-sia. Revolusi Mesir tahun 1919 memberi dampak yang sangat besar bagi rakyat dan negara Mesir.[5]
Gerakan yang dilakukan perempuan Mesir tahun 1919 di dasari oleh semangat nasionalisme. Gerakan ini juga dapat dikatakan sebagai bentuk gerakan sosial. Sebagaimana yang dikatakan sejumlah ahil sosiologi, gerakan sosial adalah gerakan yang dilakukan secara kolektif atau bersama oleh sekelompok orang. Sartre, Girdens, dan Touraine melihat bahwa suatu bagian yang paling penting dari gerakan sosial adalah adanya tindakan kolektif.
Partisipasi perempuan dalam revolusi tersebut ternyata melahirkan kesadaran pada kaum perempuan, terutama perempuan kelas atas yang memotori demonstrasi tersebut, bahwa mereka memiliki kemampuan dan kekuatan yang sama dengan kaum laki-laki. Kaum perempuan kelas atas yang selama ini hidup di ruang yang sangat terbatas kemudian menuntut agar mereka dan perempaun Mesir lainnya diberi hak yang sama dengan laki-laki untuk turut berpartisipasi aktif di berbagai bidang. Perjuangan mereka tidak sia-sia. Kini, telah banyak kemajuan yang kini telah dicapai oleh perempuan Mesir di berbagai bidang.    
Perjuangan untuk menyadarkan perempuan Mesir terhadap kedudukan dan hak-haknya telah berlangsung lama. Bahkan jauh sebelum terjadi revolusi pada tahun 1919. Ide pembebasan perempuan mulai ditiupkan oleh Qasim Amin, seorang cendekiawan yang sangat prihatin terhadap keterbelakangan kaum perempuan di Mesir ketika itu.
Di beberapa negara Arab lainnya, perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-hak mereka tidak menemui permasalahan yang berarti. Di Aljazair, kesadaran perempuan lahir setelah mereka juga ikut berjuang bersama kaum laki-laki dalam menentang penjajahan Perancis. Perlawanan rakyat Aljazair terhadap Pernacis berlangsung selama 9 tahun, yaitu dari tahun 1954 sampai dengan 1962. Menurut Frantz Fanon, dengan ikut sertanya perempuan dalam suatu perlawanan, lambat laun akan menyadarkan hak-hak mereka sebagai perempuan. Kesadaran inilah yang melahirkan emansipasi.[6]
Pada saat terjadinya perlawanan rakyat Aljazair, kaum perempuan juga ikut berperan aktif. Ketika pasukan Perancis semakin gencar melakukan serangan terhadap para pejuang Aljazair, kaum perempuan mengambil alih beberapa pos-pos penting, seperti menjadi informan. Bahkan para perempuan juga mengemban misi yang sangat berat dengan menjadi perantara pembawa bom ketika pejuang Aljazair mulai melakukan perlawanan terhadap Perancis. Hal ini dilakukan karena perempuan cenderung tidak dicurigai jika ia sebenarnya mengemban misi-misi tertentu untuk membantu perjuangan.[7]
Peran perempuan yang cukup signifikan dalam perjuangan itu menumbuhkan kesadaran bahwa sebenarnya mereka memiliki kekuatan dan kemampuan. Dalam masyarakat tradisional, Aljazair khususnya, perempuan berada di posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, dari saat dilahirkan sampai kematiannya. Ketidakikutsertaan mereka dalam masalah-masalah publik bukan karena mereka tidak memiliki kemampuan melainkan karena kesempatan yang tidak diberikan.[8]
Emansipasi yang ditintut perempaun Aljazair tidak mengalami hambatan yang berarti karena para penguasa juga akomodatif terhadap masalah tersebut. Ahmad Ben Bella, presiden pertama Aljazair juga mengizinkan perempuan untuk berpartisipasi di ruang-ruang publik. Hak-hak perempuan juga dijamin dalam undang-undang yang dibuat pada 27 Juni 1976. Sejak kemerdekaannya, Aljazair menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki termasuk di dalam bidang politik. Sejak itu, perempuan juga dapat berkarir di berbagai bidang.
Hal serupa juga terjadi di Kuwait, walaupaun tidak berlaku di semua bidang. Perempuan Kuwait diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mendapatakan pendidikan dan berkarya, meskipun perempuan di Kuwait telah mendapatakan persamaan hak dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang, namun dalam bidang politik mereka tidak memiliki hak sama sekali. Sampai saat ini, mereka tidak memiliki hak suara dalam pemilihan anggota parlemen.
Walaupaun perempuan di Kuwait dapat mengenyam pendidikan, mendapatakan ilmu dan pemikiran-pemikiran baru, namun tidak ada gerakan-gerakan tertentu yang berkaitan dengan masalah-masalah politik atau reformasi sosial. Perempuan di Kuwait juga menikmati hak yang sama dengan laki-laki, mulai dari pendidikan sampai dengan pekerjaan. Walaupun dahulu juga dikenal budaya harem, namun setelah booming minyak pada tahun 1950, lambat laun kehidupan masyarakat Kuwait juga berubah. Modernisasi yang pesat diikuti dengan berbagai perubahan gaya hidup, termasuk pada para perempuan Kuwait. Budaya Barat pelan-pelan memengaruhi kehidupan mereka, misalnya dari cara berpakaian.
Peningkatan ekonomi yang pesat diikuti oleh pembanguna berbagai fasilitas, sarana dan prasarana untuk mendukung perekonomian, juga pendidikan. Bidang pendidikan mendapat perhatian yang cukup besar. Di dalam pendidikan, perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk duduk di bangku sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat universitas.
 Pemerintah Uni Emirat Arab juga melihat bahwa pendidikan terutama untuk kaum perempuan adalah sesuatu yang amat penting. Dengan dibukanya akses pendidikan kepada perempuan,diharapkan juga akan membawa kemajuan bagi bangsa mereka. Selain itu, negara yang juga kaya akan minyak ini juga sangat berambisi untuk menjadi negara maju sehingga juga harus dikedepankan pemikiran modern, bukan sistem kesukuan lagi.[9]



[1] Linda U. Soffan, Woman of The United Arab Emirates, New York: Harper & Row Publishers, 1980, hlm. 21.
[2] Subono, Nur Iman, Gerakan Perempuan Islam, dalam Jurnal Perempuan No. 14. Jakarta:Yayasan Jurnal Perempuan, 2000, hal 83.
[3] ibid hlm. 85
[4] Soha Abdel Kader, Egyptian Woman in Changing Society: 1899-1957, London: Lynne Riener Publicity, 1987, hlm. 86
[5] Elizabeth WF, Middle Eastern Women Speak, ed. Texas: University of Texas Press, 1977, hlm. 196.
[6] Elizabeth WF, Middle Eastern Women Speak, ed. Texas: University of Texas Press, 1977, hlm. 159.
[7] Ibid hlm. 162
[8] Ibid hlm. 165
[9] Soffan op.cit hlm.61

S2 UI Ekonomi dan Keuangan Syariah

posting by ayilia di 7:14 PM 0 komentar
Perkenalkan, saya Lia Estika Sari mahasiswa S2 Jurusan Ekonomi dan Keuangan Syariah angkatan 29. Sudah 1,5 bulan saya menjalani kuliah di bidang ekonomi yang sebelumnya saya tidak ada background ekonomi.

Mulai sekarang, insyaallah saya akan sharing2 tentang mata kuliah yang saya pelajari di semester satu.

Karena jurusan saya ada dibawah Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam, jadi mata kuliahnya banyak juga yang mengkaji Timur Tengah

Semester ini saya menempuh 15sks
Sejarah Peradaban Timur Tengah
Ushul dan Fikih Muamalah
Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Teori Ekonomi Mikro
Filsafat dan Multidisiplin Ilmu
Kajian Quran dan Hadits





 

Glitter Crayons Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea