Gerakan Sosial
Perempuan di Timur Tengah
Gerakan perempuan di negara-negara Timur
Tengah telah terjadi sejak awal abad ke-20. Gerakan tersebut umumnya tidak
serta merta menuntut hak-hak mereka sebagai perempuan. Kesadaran untuk
mendapatkan hak-hak yang sama lahir setelah mereka ikut berjuang dengan kaum
laki-laki. Gerakan perempuan di negara Timur Tengah seperti Mesir dan Palestina
dipicu oleh gerakan nasionalisme menentang bentuk-bentuk imperialism.[1] Dengan itu kaum laki-laki
sadar bahwa kaum perempuan juga memiliki kekuatan dan kemampuan yang sama
dengan kaum laki-laki.
Situasi dan kondisi di tiap-tiap negara
Timur Tengah yang tidak sama menyebabkan bentuk gerakan perempuan berbeda-beda.
Namun hanya ada satu isu yang menyebabkan mereka bergerak: diskriminasi. Di
beberapa negara Timur Tengah seperti Mesir dan Suriah gerakan perempuan telah
dimulai sejak awal abad ke-20. Akan tetapi tidak semua kaum perempuan di
negara-negara Arab harus bersusah payah berjuang untuk mendapatkan persamaan
hak di beberapa bidang. Negara-negara tersebut misalnya seperti Kuwait,
Tunisia, Uni Emirat Arab dan lain-lain. Hal ini disebabkan salah satunya adalah
karena kaum laki-laki di negara-negara tersebut cukup akomodatif. Ironisnya
mereka hanya mendukung dalam sektor pendidikan saja, namun hak perempuan dalam
politik tidak diakui.
Di Saudi Arabia, sekitar awal abad
ke-20, perempuan hanya masih menikmati pendidikan tradisional di rumah atau di
sekolah-sekolah kuttab untuk
mendapatkan pendidikan Al-Quran.[2] Namun sayangnya mereka
belum bisa menikmati pendidikan modern. Baru pada tahun 1960-an, perempuan
boleh memasuki sekolah modern. Sekolah modern untuk perempuan yang pertama ini,
bertujuan untuk mendidik perempuan agar dapat menjadi pengelola rumah tangga
yang baik berdasarkan ajaran-ajaran Islam. Pendidikan bagi kaum perempuan terus
dibuka seluas-luasnya setelah minyak ditemukan di negara petrodollar tersebut.
Booming ekonomi bahkan membuat banyak perempuan kelas atas bersekolah di luar
negeri.
Di sisi lain perempuan masih sangat terbatas
untuk bergerak di ruang publik. Salah satu bentuk pembatasan itu adalah
pelarangan mengendarai mobil. Pelarangan ini memancing protes dari beberapa
kalangan perempuan professional Arab Saudi. Sekitar 47 perempuan berdemonstrasi
mengendarai mobil di jalan raya King Abdul Aziz. Peristiwa yang terjadi pada
tahun 1990 ini menyebabkan mereka ditangkap.
Gerakan perempuan di Saudi Arabia dapat dibagi menjadi
tiga periode, yaitu:
1. Periode
pertama 1932-1950 Perempuan Saudi didefinisikan lebih berperan dalam bidang
tradisional dan domestic seperti mengelola rumah tangga dan mengasuh anak
2. Periode
kedua 1960-1970 dibawah kepemimpinan Raja Faisal perempuan Saudi mendapat peran
yang lebih dari sekedar peran tradisional bahkan sampai bisa mengenyam
pendidikan di luar negeri
3. Periode
setelah 1970an, perempuan Saudi mengalami kemunduran peran akibat pengaruh dari
pecahnya revolusi Iran.[3]
Di
Mesir, perjuangan perempuan telah lebih dahulu dilakukan sebelum negara-negara
Arab lainnya. Gerakan perempuan tumbuh seiring dengan isu nasionalisme. Pada tanggal 16 Maret 1919, untuk pertama kalinya
kaum perempuan kelas atas dan menengah turun ke jalan-jalan melakukan
perlawanan dengan berdemonstrasi. Ratusan perempuan dengan pakaian khas
perempuan kelas atas dan wajah yang tertutup hijab bergerak dengan gagah berani
menantang pasukan Inggris. Aksi-aksi besar yang terjadi di
tahun 1919 itu kemudian dikenal dengan Revolusi 1919.[4]
Selain menuntut pembebasan para
aktivis politik yang berjuang untuk kemerdekaan Mesir, mereka juga memprotes
pemerintah Inggris karena tindakannya yang penuh kekerasan dalam menghadapi
rakyat Mesir. Gerakan yang dilakukan perempuan kelas atas dan menengah Mesir
ketika itu bukan hanya mengandalkan kekuatan massa, namun berbagai cara juga
dilakukan untuk mencapai tujuan mereka.
Usaha yang dilakukan untuk menuntut
kebebasan para tahanan politik dan protes terhadap tindakan pasukan Inggris
bukan hanya dilakukan dengan hanya demonstrasi di jalan-jalan. Strategi pertama
yang mereka lakukan adalah mengirim sebuah petisi kepada Ketua Komisi Tinggi
Inggris ketika itu. Sayangnya petisi tersebut tidak mendapatkan tanggapan dari
pihak Inggris. Selain menulis petisi, para perempuan Mesir kelas atas yang
dipimpin oleh Huda Sharawi, mengirim surat kepada Lady Burnet, yang tidak lain
adalah istri Ketua Komisi Tinggi Inggris, namun surat itu tidak ditanggapi oleh
Lady Burnet. Usaha para perempuan Mesir untuk mengirim petisi dan surat tidak
membuahkan hasil, akhirnya mereka berkumpul lagi untuk melakukan aksi turun ke
jalan. Kemudian perempuan yang jumlahnya ratusan itu berdemonstrasi turun ke
jalan. Perjuangan ini memakan korban bernama Shafiqa Muhammad, salah satu dari
demonstran. Namun perjuangan merekan yang penuh perjuangan itu tidak sia-sia.
Revolusi Mesir tahun 1919 memberi dampak yang sangat besar bagi rakyat dan
negara Mesir.[5]
Gerakan yang dilakukan perempuan Mesir
tahun 1919 di dasari oleh semangat nasionalisme. Gerakan ini juga dapat
dikatakan sebagai bentuk gerakan sosial. Sebagaimana yang dikatakan sejumlah
ahil sosiologi, gerakan sosial adalah gerakan yang dilakukan secara kolektif
atau bersama oleh sekelompok orang. Sartre, Girdens, dan Touraine melihat bahwa
suatu bagian yang paling penting dari gerakan sosial adalah adanya tindakan
kolektif.
Partisipasi perempuan dalam revolusi tersebut ternyata
melahirkan kesadaran pada kaum perempuan, terutama perempuan kelas atas yang
memotori demonstrasi tersebut, bahwa mereka memiliki kemampuan dan kekuatan
yang sama dengan kaum laki-laki. Kaum perempuan kelas atas yang selama ini
hidup di ruang yang sangat terbatas kemudian menuntut agar mereka dan perempaun
Mesir lainnya diberi hak yang sama dengan laki-laki untuk turut berpartisipasi
aktif di berbagai bidang. Perjuangan mereka tidak sia-sia. Kini, telah banyak
kemajuan yang kini telah dicapai oleh perempuan Mesir di berbagai bidang.
Perjuangan untuk menyadarkan perempuan Mesir terhadap
kedudukan dan hak-haknya telah berlangsung lama. Bahkan jauh sebelum terjadi revolusi pada tahun 1919. Ide
pembebasan perempuan mulai ditiupkan oleh Qasim Amin, seorang cendekiawan yang
sangat prihatin terhadap keterbelakangan kaum perempuan di Mesir ketika itu.
Di beberapa negara Arab
lainnya, perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak-hak
mereka tidak menemui permasalahan yang berarti. Di Aljazair, kesadaran
perempuan lahir setelah mereka juga ikut berjuang bersama kaum laki-laki dalam
menentang penjajahan Perancis. Perlawanan rakyat Aljazair terhadap Pernacis
berlangsung selama 9 tahun, yaitu dari tahun 1954 sampai dengan 1962. Menurut
Frantz Fanon, dengan ikut sertanya perempuan dalam suatu perlawanan, lambat
laun akan menyadarkan hak-hak mereka sebagai perempuan. Kesadaran inilah yang melahirkan emansipasi.[6]
Pada saat terjadinya perlawanan rakyat Aljazair, kaum
perempuan juga ikut berperan aktif. Ketika pasukan Perancis semakin gencar melakukan serangan terhadap para
pejuang Aljazair, kaum perempuan mengambil alih beberapa pos-pos penting, seperti menjadi informan. Bahkan para perempuan juga mengemban misi yang sangat berat dengan
menjadi perantara pembawa bom ketika pejuang Aljazair mulai melakukan
perlawanan terhadap Perancis. Hal ini dilakukan karena perempuan cenderung tidak dicurigai jika
ia sebenarnya mengemban misi-misi tertentu untuk membantu perjuangan.[7]
Peran perempuan yang cukup signifikan dalam perjuangan itu menumbuhkan kesadaran bahwa sebenarnya mereka
memiliki kekuatan dan kemampuan. Dalam masyarakat tradisional, Aljazair
khususnya, perempuan berada di posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan
laki-laki, dari saat dilahirkan sampai kematiannya. Ketidakikutsertaan mereka
dalam masalah-masalah publik bukan karena mereka tidak memiliki kemampuan
melainkan karena kesempatan yang tidak diberikan.[8]
Emansipasi yang ditintut perempaun Aljazair tidak
mengalami hambatan yang berarti karena para penguasa juga akomodatif terhadap
masalah tersebut. Ahmad Ben Bella, presiden pertama Aljazair juga mengizinkan
perempuan untuk berpartisipasi di ruang-ruang publik. Hak-hak perempuan juga
dijamin dalam undang-undang yang dibuat pada 27 Juni 1976. Sejak
kemerdekaannya, Aljazair menjamin persamaan hak antara perempuan dan laki-laki termasuk di
dalam bidang politik. Sejak itu, perempuan juga dapat berkarir di berbagai
bidang.
Hal serupa juga terjadi di Kuwait, walaupaun tidak
berlaku di semua bidang. Perempuan Kuwait diberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk mendapatakan pendidikan dan berkarya, meskipun perempuan di Kuwait telah
mendapatakan persamaan hak dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang, namun
dalam bidang
politik mereka tidak memiliki hak sama sekali. Sampai saat ini, mereka tidak memiliki hak suara dalam pemilihan anggota parlemen.
Walaupaun perempuan di Kuwait dapat mengenyam pendidikan, mendapatakan ilmu
dan pemikiran-pemikiran baru, namun tidak ada gerakan-gerakan tertentu yang
berkaitan dengan masalah-masalah politik atau reformasi sosial. Perempuan di
Kuwait juga menikmati hak yang sama dengan laki-laki, mulai dari pendidikan
sampai dengan pekerjaan. Walaupun dahulu juga dikenal budaya harem, namun setelah booming minyak pada
tahun 1950, lambat laun kehidupan masyarakat Kuwait juga berubah. Modernisasi yang pesat diikuti dengan
berbagai perubahan gaya hidup, termasuk pada para perempuan Kuwait. Budaya
Barat pelan-pelan memengaruhi kehidupan mereka, misalnya dari cara berpakaian.
Peningkatan ekonomi yang pesat diikuti oleh pembanguna
berbagai fasilitas, sarana dan prasarana untuk mendukung perekonomian, juga
pendidikan. Bidang pendidikan mendapat perhatian yang cukup besar. Di dalam
pendidikan, perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk duduk di bangku
sekolah, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat universitas.
Pemerintah Uni
Emirat Arab juga melihat bahwa pendidikan terutama untuk kaum perempuan adalah sesuatu yang amat penting. Dengan dibukanya
akses pendidikan kepada perempuan,diharapkan juga akan membawa kemajuan bagi
bangsa mereka. Selain itu, negara yang juga kaya akan minyak ini juga sangat berambisi untuk menjadi negara maju
sehingga juga harus dikedepankan pemikiran modern, bukan sistem kesukuan lagi.[9]
[1]
Linda U. Soffan, Woman of The United Arab
Emirates, New York: Harper & Row Publishers, 1980, hlm. 21.
[2]
Subono, Nur Iman, Gerakan Perempuan Islam,
dalam Jurnal Perempuan No. 14.
Jakarta:Yayasan Jurnal Perempuan, 2000, hal 83.
[3]
ibid hlm. 85
[4]
Soha Abdel Kader, Egyptian Woman in
Changing Society: 1899-1957, London: Lynne Riener Publicity, 1987, hlm. 86
[5]
Elizabeth WF, Middle Eastern Women Speak,
ed. Texas: University of Texas Press, 1977, hlm. 196.
[6]
Elizabeth WF, Middle Eastern Women Speak,
ed. Texas: University of Texas Press, 1977, hlm. 159.
[7]
Ibid hlm. 162
[8]
Ibid hlm. 165
[9]
Soffan op.cit hlm.61